Rabu, 28 Desember 2011

Belanja Impulsif

 1. Definisi Belanja Impulsif
Menurut Rook (dalam Herabadi, 2003) belanja impulsif dapat didefinisikan perilaku belanja tanpa perencanaan, diwarnai oleh dorongan kuat untuk membeli yang muncul secara tiba-tiba dan seringkali sulit untuk ditahan, yang dipicu secara spontan pada saat berhadapan dengan produk, dan diiringi oleh perasaan menyenangkan serta penuh gairah.
Sedangkan menurut Beaty & Ferrel; Rook; Gardner & Rook; Statt; Wood (dalam Herabadi, 2003 ) belanja impulsif adalah perilaku yang tidak dilakukan secara sengaja, dan kemungkinan besar melibatkan pula berbagai macam motif yang tidak disadari, serta dibarengi oleh respons emosional yang kuat.
Menurut Rook (dalam Engel, Blackwell, & Miniard, 1995), belanja impulsif memiliki satu atau lebih karakteristik, yaitu :
  • ·         Spontanitas. Belanja ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk membeli sekarang. Sering sebagai respon terhadap stimulus visual yang langsung di tempat penjualan.
  • ·         Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk mengesampikan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.
  • ·         Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”, “menggetarkan”, atau “liar”.
  • ·         Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit untuk ditolak sehingga akibat yang mungkin negative diabaikan.

Menurut Fitri (2006), belanja impulsif adalah gaya belanja spontan, tanpa perencanaan, merupakan pemicu timbulnya belanja impulsif. Apabila tidak dikontrol, belanja impulsif dapat menjadi habit atau kebiasaan yang tidak sehat. Belanja impulsif sendiri dapat dijelaskan sebagai belanja tanpa perencanaan, diwarnai dorongan kuat untuk membeli yang muncul secara tiba-tiba dan sering kali sulit ditahan. Hal itu diiringi oleh perasaan menyenangkan serta penuh gairah.
Jadi dengan kata lain, belanja impulsif adalah perilaku yang tidak dilakukan secara sengaja, dan kemungkinan besar melibatkan pula berbagai macam motif yang tidak disadari, disertai perasaan menyenangkan serta penuh gairah. Dua karakteristik dari belanja impulsif, yaitu tidak direncanakan dan adanya hasrat serta gairah yang mengiringi, membedakannya dari jenis perilaku belanja "tanpa pikir" lainnya. Belanja impulsif akan berbeda dengan belanja karena kebiasaan atau belanja karena terdesak oleh keterbatasan waktu  (Fitri, 2006).
Belanja impulsif dianggap sebagai perilaku belanja yang "irasional", karena meskipun menyadari sebelumnya akan adanya kemungkinan merasakan penyesalan di kemudian hari tetapi orang tetap berbelanja. Karena itu, perilaku belanja impulsif diasosiasikan dengan kecenderungan mengabaikan dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi dan yang dapat mengakibatkan penyesalan, misalnya berkaitan dengan uang yang sudah telanjur dibelanjakan atau kualitas produk yang dibeli (Fitri, 2006).

2. Elemen-elemen Belanja Impulsif
Menurut Loudon & Bitta (1993), ada lima elemen penting yang membedakan tingkah laku impulsif dan tidak impulsif. Elemen-elemen tersebut:
  • .Konsumen merasakan adanya suatu dorongan yang tiba-tiba dan spontan untuk melakukan suatu tindakan yang berbeda dengan tingkah laku yang sebelumnya.
  • 2.      Dorongan tiba-tiba untuk melakukan suatu kegiatan belanja menempatkan konsumen dalam keadaan disekuilibrium secara psikologis, dimana untuk sementara waktu ia merasa kehilangan kendali.
  • 3.      Konsumen akan mengalami konflik psikologis dan berusaha menimbang pemuasan kebutuhan langsung dan konsekuensi jangka panjang dari belanja.
  • 4.      Konsumen akan mengurangi evaluasi kognitif dari produk.
  • 5.      Konsumen seringkali belanja secara impulsif tanpa memperhatikan konsekuensi akan datang.

Elemen-elemen tersebut secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua elemen pokok, yaitu kurangnya perencanaan dan pemikiran yang matang dalam pembelian produk yang dilakukan secara impulsif dan adanya respon emosi yang muncul sebelum, bersamaan, ataupun sesudah pembelian yang tidak direncanakan (Verplanken dan Herabadi, 2001).

3. Tipe-tipe pembelanja Impulsif
Menurut Loudon & Bitta (1993), ada empat tipe pembelanja impulsif, yaitu:
  • 1.      Pure impulse merupakan pembelian secara impulse yang dilakukan karena adanya luapan emosi dari konsumen sehingga melakukan pembelian terhadap produk di luar kebiasaan pembeliannya. Biasanya tipe ini didasari dorongan untuk membeli produk baru, mencari variasi baru, atau pembelian terhadap produk di luar kebiasaan pembeliannya. Misalnya, konsumen yang jarang membeli majalah melihat majalah Gadis di pajang di tempat dia sedang menunggu antrian dan ingin membeli majalah tersebut karena melihat gambar dan cover story majalah. Dalam hal ini pembelian terhadap majalah tersebut dikategorikan sebagai pembelian pure impulse karena di luar perilaku pembelian normal dan hanya untuk memuaskan keinginan yang didasarkan pada luapan emosi.
  • 2.      Suggestion impulse merupakan pembelian yang terjadi pada saat konsumen melihat produk, melihat tata cara pemakaian atau kegunaannya, dan merasa memerlukan hingga memutuskan untuk melakukan pembelian.  Suggestion impulse dilakukan oleh konsumen meskipun tidak benar-benar membutuhkannya dan pemakainnya masih akan digunakan pada masa yang akan datang. Biasanya  tipe ini didasari stimulus pada toko dan ditunjang dengan pemberian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga maupun teman.
  • 3.      Reminder impulse merupakan pembelian yang terjadi karena konsumen tiba-tiba teringat untuk melakukan pembelian produk tersebut. Dengan demikian, konsumen telah pernah melakukan pembelian sebelumnya atau telah pernah melihat produk tersebut dalam iklan. Biasanya tipe ini didasari dorongan yang muncul saat melihat barang pada rak toko, display atau teringat informasi lainnya tentang suatu produk.
  • 4.      Planned impulse merupakan pembelian yang terjadi ketika konsumen memasuki toko dengan harapan melakukan transaksi pembelanjaan berdasarkan diskon, kupon, dan lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibelinya. Konsumen juga membeli produk lain yang saat itu dijual dengan harga khusus (discount, cuci gudang) karena mengingat kebiasaan mengkonsumsi produk tersebut. Misalnya, seorang konsumen merencanakan membeli telur, susu, dan roti. Namun ketika melihat selai tengah discount maka konsumen tersebut membeli selai tersebut karena teringat bahwa setiap pagi anak-anak sarapan dengan menggunakan selai tersebut. Apalagi seluruh keluarga dapat menghabiskan satu box selai selama satu bulan. Pada tipe ini pembelian yang dilakukan tanpa direncanakan dan tidak tengah memerlukan dengan segera, tetapi konsumen membeli produk tersebut secara teratur dan mengetahui bahwa suatu saat akan membutuhkannya jika persediaan di rumah telah habis, sedangkan pada saat itu tengah ada program on sale (discount).

Menurut Fitri (2006), terdapat empat jenis pembelanja impulsif.
1.      Tipe kompensatif. Orang yang termasuk dalam tipe ini biasanya berbelanja tanpa pikir panjang hanya karena ingin meningkatkan harga diri. Bagi mereka berbelanja merupakan sarana untuk melarikan diri dari berbagai masalah yang dihadapi, seperti masalah pekerjaan, rumah tangga, atau keluarga. Sering kali barang-barang yang dibeli tidak dibutuhkan, sehingga tidak dipakai dan tersimpan rapi dalam lemari.
2.      Tipe akseleratif. Orang yang termasuk dalam tipe ini sering kali tergoda berbelanja pada saat banyak penawaran sale di pusat-pusat perbelanjaan. Mereka akan membeli barang-barang tersebut, meskipun tidak membutuhkannya saat membeli. Barang-barang yang dibeli murah tersebut dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan di masa depan.
3.      Tipe terobosan. Orang yang termasuk dalam tipe ini akan membeli barang-barang mahal tanpa ada perencanaan yang matang. Ketika berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dan melihat ada pameran mobil atau rumah, mereka akan pulang dengan menandatangi kontrak pembelian rumah atau mobil baru tersebut. Bagi mereka membeli barang-barang mahal tersebut menjadi lambang dimulainya babak baru dalam kehidupannya, meskipun sebenarnya hasrat untuk membelinya sudah lama ada.
4.      Tipe pembeli buta. Orang yang termasuk dalam tipe ini akan membeli barang tanpa ada pertimbangan sama sekali. Sulit sekali memahami apa yang melatarbelakangi mereka berbelanja seperti itu.

4. Faktor-faktor yang Memicu Belanja Impulsif
Verplanken & Herabadi (2001), mengemukakan beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku belanja impulsif.

1. Variabel Situasional
a. Lingkungan toko
Beberapa variabel yang ada di lingkungan toko antara lain adalah penampilan fisik produk, cara menampilkannya, atau adanya tambahan seperti bau yang wangi, warna yang indah, atau musik yang menyenangkan. Isyarat-isyarat yang bermuatan efek ini dapat menarik perhatian, menimbulkan motivasi untuk membeli, atau menyebabkan munculnya suasana hati yang positif, dan merupakan hal yang sangat penting selama berlangsungnya in-store browsing dapat mengakibatkan munculnya perasaan positif dan dorongan untuk membeli, di mana keduanya merupakan karakteristik dari belanja impulsif (Beatty and Ferrell, 1998 dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).

b. Ketersediaan waktu dan uang
Variabel situasional lain yang juga mempengaruhi belanja impulsif adalah tersedianya waktu dan uang, baik benar-benar tersedia (benar-benar memiliki waktu dan uang), maupun hanya perasaannya saja (hanya “merasa memiliki waktu dan uang) (Beatty and Ferrell, dalam Verplanken dan Herabadi, 2001).

2. Variabel person-related
Belanja impulsif yang mungkin berada dalam batas-batas yang berhubungan dengan manusia. Sebagai contoh menurut Wood (dalam Verplanken & Herabadi, 2001) mengemukakan hubungan antara belanja impusif dengan latar belakang pendidikan. Rook dan Gardner (dalam Verplanken & Herabadi, 2001) mengemukakan bahwa suasana hati tertentu (misalnya kombinasi dari kesenangan, kegairahan dan kekuasaan)) mungkin menimbulkan belanja impulsif. Konsumen mungkin juga melakukan belanja impulsif sebagai cara untuk menghilangkan depressed mood.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa berbagai motivasi ang temporer dapat menimbulkan belanja impulsif, seperti menginginkan penghargaan (reward), dukungan,atau membuat nyaman diri sendiri. Motivasi-motivasi tersebut mungkin ditimbulkan oleh kajadian penting dalam hidup seseorang baik yang positif maupun yang negatif (misalnya lulus atau gagal dalam ujian). Motivasi yang lebih berstruktur dapat juga mendorong timbulnya belanja impulsif.  Dittmar (dalam Verplanken & Herabadi, 2001) mengemukakan bahwa belanja impulsif mungkin mengekspresikan simbol identitas diri. Pendekatan identitas ini mungkin menjelaskan perbedaan kelompok (misalnya jender) maupun individual dalam mempengaruhi jenis barang-barang yang dibeli secara impulsif.

3. Variabel Normatif
Belanja impulsif mungkin berada dalam batas-batas normatif. Rook dan Fisher (dalam Verplanken & Herabadi, 2001) menemukan bahwa belanja impulsif hanya muncul di saat individu percaya bahwa tindakan itu pantas dilakukan. Dan tampaknya, perbedaan kelompok jender sangat mungkin mempengaruhi perilaku belanja pada umumnya; belanja impulsif pada khususnya.
Menurut Loudon & Bitta (1993), terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi belanja impulsif. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah karakteristik produk dan marketing. Karakteristik produk yang mempengaruhi belanja impulsif adalah:
  • 1.      Memiliki harga yang rendah
  • 2.      Adanya sedikit kebutuhan terhadap produk tersebut
  • 3.      Siklus kehidupan produknya pendek
  • 4.      Ukurannya kecil dan ringan
  • 5.      Mudah di simpan

Pada faktor marketing, hal-hal yang mempengaruhi belanja impulsif adalah:
  • a.       Adanya distribusi massa untuk self-service outlet
  • b.      Iklan yang besar, serta
  • c.       Posisi display dan lokasi yang menonjol turut mempengaruhi belanja impulsif (Loudon & Bitta, 1993).

Secara umum, dalam ilmu perilaku konsumen, kita dapat membagi produk menjadi dua bagian yaitu produk yang tergolong high involvement dan low involvement. Kategori high involvement adalah produk yang membutuhkan perhatian khusus sebelum pembeli memutuskan transaksi. Misalnya: komputer, televisi, mobil. Adapun yang termasuk kategori produk low involvement antara lain permen, cokelat dan sejumlah makanan ringan. Pada saat membeli produk seperti ini, tentu kita tidak pernah mengecek dengan detail berbagai kandungan bahan yang ada dalam permen, misalnya, apalagi sampai mengangkat ponsel dan menghubungi dokter lebih dulu hanya menanyakan kelayakan permen tadi untuk dikonsumsi. Waktu dan biayanya tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam mengonsumsi permen tadi (Kertajaya, 2003). 
Produk low involvement biasanya ditandai dengan risiko yang rendah. Walaupun kita salah memilih merek permen, risikonya tidak besar, risiko keuangan ataupun non keuangan. Jika tidak enak, paling kita hanya kehilangan seribu rupiah dan tidak pernah takut bahwa dengan salah memilih permen maka hidup kita jadi berantakan (Kertajaya, 2003). 
Produk low involvement inilah yang memacu Belanja Impulsif. Untuk itu strateginya juga harus unik. Mulai dari komunikasinya yang harus mind-catching. Penggunaan public figure sebagai bintang iklan dalam produk ini sangat membantu. Faktor kedua adalah penguasaan distribusi. Distribusi tidak hanya berkaitan dengan kelancaran pengiriman produk dan ketersediaan, tetapi juga display produk dan shelf space yang menarik perhatian. Oleh karena itu merupakan kewajaran jika sejumlah produk low involvement dipajang di konter check out dekat kasir. Posisi ini yang paling stategis untuk memancing impulse buying, karena selagi bertransaksi, tatapan mata pembeli tertuju pada produk yang di display dengan harga seputar meja kasir. Hal inilah yang menstimulus Belanja Impulsif (Kertajaya, 2003).  

 5. Dampak dari Perilaku Belanja Impulsif
Menurut Fitri (2006), dampak yang ditimbulkan dari perilaku belanja impulsif, yaitu:
  • ·         Kebiasaan berbelanja impulsif dapat menyebabkan timbulnya rasa bersalah. Perasaan itu akan timbul begitu mereka sampai di rumah dan melihat barang-barang yang telah dibeli, atau ketika mereka memeriksa lemari dan menyadari banyak baju, sepatu, tas, dan barang lain yang tidak pernah dipakai. Meskipun demikian, mereka akan membuang jauh perasaan tersebut dengan mencoba mencarialasan rasional yang melatarbelakangi pembelanjaan yang dilakukannya.
  • ·         Ketika berada dalam situasi yang mendorong untuk berbelanja secara impulsif lagi, terjadi pertentangan internal dalam diri mereka. pertentangan tersebut terjadi antara "keharusan" (ought to be) dan "hasrat" (desire). Di satu sisi mereka menyadari untuk berbelanja barang-barang yang dibutuhkan saja, tetapi disisi lain ada dorongan kuat dalam diri mereka untuk berbelanja tanpa mempedulikan butuh atau tidak.  
  • ·         Berbelanja secara impulsif tentu juga akan menimbulkan masalah keuangan. Membeli suatu barang tanpa perencaan akan mengakibatkan membengkaknya anggaran atau pengeluaran. Jika memiliki simpanan uang berlebih tentu tidak jadi masalah, tetapi bagaimana jika memiliki simpanan yang berlebih tentu tidak jadi masalah. Akan tetapi tetap saja hal tersebut akan menjadi masalah apabila tagihan kartu kredit membengkak karena kebiasaan berbelanja yang berlebihan.
  • ·         Ketika melihat kualitas barang yang dibeli tidak bagus, maka akan membuat suatu perasaan menyesal. Sehingga barang yang telah dibeli tersebut hanya ditaruh saja dan tidak digunakan.